Sejarah Kota Magelang
Hari Jadi Magelang ditetapkan
berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11
April 907 Masehi merupakan hari jadi. Penetapan ini merupakan tindak lanjut
dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota
Magelang; bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar
sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto Kartoatmodjo,
dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional maupun Museum Radya
Pustaka-Surakarta
Kota Magelang mengawali sejarahnya
sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung
Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman
dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang
diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah
Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti
GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis
diatas lempengan tembaga.
Prasasti POH dan Mantyasih ditulis
zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung
(898-910 M), dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama
Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi
Meteseh,sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi
antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan
angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran
Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal
11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan
oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah
bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung
SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung
SUMBING.
Begitulah Magelang, yang kemudian
berkembang menjadi kota selanjutnya menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga
pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini
menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya dan di era reformasi, sejalan dengan
pemberian otonomi seluas - luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan
dan diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang
pada abad ke 18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintahan setingkat
Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati
ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun
Alun - alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam
perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu
pada tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris
ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah
Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena
letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah
Magelang kemudian dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana
dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada
tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan - jalan
arteri diperkeras dan diaspal.
Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis diatas lempengan tembaga.
Prasasti POH dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M), dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh,sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota selanjutnya menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi seluas - luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun - alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan - jalan arteri diperkeras dan diaspal.
- See more at: http://www.magelangkota.go.id/direktori/kategori/sekilas-kota/sejarah-kota-magelang#sthash.IMCCCSL3.dpuf
Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis diatas lempengan tembaga.
Prasasti POH dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M), dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh,sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota selanjutnya menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi seluas - luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun - alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan - jalan arteri diperkeras dan diaspal.
- See more at: http://www.magelangkota.go.id/direktori/kategori/sekilas-kota/sejarah-kota-magelang#sthash.IMCCCSL3.dpuf
Siapakah Sebenarnya
sosok Simo Lodro ?
Diposkan oleh Agus Mulyadi di 07.37
Kita semua tahu bahwa kelompok supporter PPSM Sakti magelang adalah Simo
Lodro, tapi ternyata banyak yang tidak tahu siapa sebenarnya sosok Simo
Lodro itu. Mungkin hanya pendukung PPSM Sakti yang sudah berusia agak
lanjut yang mengetahui siapa sebenarnya sosok Simo Lodro itu.
Simo Lodro sebenarnya adalah sosok fiktif di dalam cerita novel dan
Sandiwara Radio yang berjudul "Naga Sasra dan sabuk Inten" karangan S.H
Mintardja. Naga Sasra dan Sabuk Inten adalah cerita sandiwara radio yang
sangat terkenal di jamanya
nagasasra.jpg
Sebenarnya sosok Simo Lodro di dalam cerita Naga Sasra dan Sabuk Inten"
bernama Sima Lodra, tapi karna banyak masyarakat yang lebih enak
mengucapkan Simo Lodro daripada Sima Lodra, maka masyarakat lebih sering
mengucapkan sosok Sima Lodra dengan nama Simo Lodro (maklum, lidah jawa
sering enak mengucapkan kata berakhiran a dengan bunyi o, lebih
tepatnya antara O dan A).
Sima Lodra adalah seorang pemimpin kelompok perampok atau penyamun yang
terkenal di alas jawa. Ia mempunyai jurus maut yang bernama jurus Cakar
Harimau, di dalam cerita, Sima lodra adalah sosok sakti mandraguna dan
sulit ditandingi, disegani oleh lawan maupun kawan. Di dalam cerita,
Sima Lodra muncul sebagai seorang penyamun yang menghadang mahesa jenar
di Kerajaan Ratu Boko (Prambanan).
Lalu apa hubunganya Sima Lodra dengan Magelang? Hubunganya adalah karna
Sarang dari Kelompok penyamun yang dipimpin oleh Sima Lodra adalah di
Bukit Tidar yang Notabene adalah trade mark kota magelang. Oleh karna
itu maka kemudian nama kelompok Supporter magelang dinamakan Simo Lodro.
Gimana, kalian sudah tahu kan bagaimana sejarahnya nama Simo Lodro ?
Silahkan Copas asalkan tetap mencantumkan Sumbernya
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Hari Jadi Magelang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 Masehi merupakan
hari jadi. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan
diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang;
bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar
sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto
Kartoatmodjo, dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional
maupun Museum Radya Pustaka-Surakarta.
Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis diatas lempengan tembaga.
Prasasti POH dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M), dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh,sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota selanjutnya menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi seluas - luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun - alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan - jalan arteri diperkeras dan diaspal.
- See more at: http://www.magelangkota.go.id/direktori/kategori/sekilas-kota/sejarah-kota-magelang#sthash.IMCCCSL3.dpuf
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis diatas lempengan tembaga.
Prasasti POH dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M), dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh,sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota selanjutnya menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi seluas - luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun - alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan - jalan arteri diperkeras dan diaspal.
- See more at: http://www.magelangkota.go.id/direktori/kategori/sekilas-kota/sejarah-kota-magelang#sthash.IMCCCSL3.dpuf
Komentar
RAIH KEMENANGAN ANDA SEKARANG JUGA BERSAMA KAMI !
DI WWW(.)ZOYA99(.)COM
DEPOSIT MINIMAL 20 RIBU BISA MENANG JUTAAN
DENGAN KEUNTUNGAN
PROSES DEPO WD CEPAT
PELAYANAN CEPAT, BAIK, RAMAH DAN PROFESIONAL
SIAP MEMBANTU 24 JAM
KARTU BAGUS DIBAGIKAN OLEH BANDAR
PERSENTASE KEMENANGAN 85%
TUNGGU APALAGI JIKA BISA MERAIH JUTAAN SEKARANG JUGA ?
CONTACT KAMI :
Pin BBM : D8B82A86
Pin BBM : 2BE5BC31
Line : zoya_qq
WA : +85515370075
www(.)zoya99(.)com